KARAKTERISTIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sebagaimana kita
ketahui, pendidikan adalah suatu interaksi manusia ( human interaction) antara pendidik/ guru dengan anak
didik/subjek didik/siswa yang dapat menunjang pengembangan manusia seutuhnya
yang berorientasi pada nilai-nilai dan pelestarian serta pengembangan
kebudayaan yang berhubungan dengan usaha-usaha pengembangan manusia.
Menurut
Drijarkara SJ, pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Jadi, pendidikan
dilakukan oleh orang dewasa dengan upaya yang sungguh-sungguh serta strategi
dan siasat yang tepat demi keberhasilan pendidikan. Pendidikan berlangsung
secara formal, no-formal, dan in-formal serta berlangsung seumur hidup. [1]
sehingga dalam proses pembelajaran terkadang kita mendengar satu kalimat mengatakan bahwayang disampaikan oleh salah
soerang dosen bahwa tujuan dari pendidikan itu sendiri tidak lain untuk
memanusiakan manusia.[2]
Di
dalam memajukan pendidikan di Indonesia, pengaruh pemerintah sangat besar, hal
ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang ditempuh demi suksesnya
pendidikan seluruh warga Negara. Misalnya, perubahan pendidikan yang dimulai
dari kebijakan pendidikan yang dilihat dari awal kedatangannya Belanda hingga
memasuki zaman orde baru yang terrus mengalami banyak inovasi baru dalam bidang
pendidikan. Selain itu juga, dari peranan pemerintah dan swasta dalam
menyiapkan tenaga kerja dan wiraswasta melalui pendidikan formal dan
non-formal. Juga dalam bahaya narkoba, morfinisme, alkoholisme, dan kenakalan
remaja yang termasuk penghambat pendidikan generasi muda, perlu diketahui
beserta upayah-upaya penanggulangannya.[3]
Dalam
hal ini sudah jelas bahwa pemerintah memiliki peranan yang sangat penting dalam
perkembangan pendidikan di Indonesia. Kebijakan pendidikan yang membahas
tentang karakteristik kebijakan yang di dalamnya mencakup tentang, pertama: konsep kebijakan pendidikan,
pendekatan kebijakan pendidikan, serta model-model yang digunakan dalam
pendidikan. Kedua: macam-macam
kebijakan dalam pendidikan, akan dibahas dalam bab selanjutnya.
B.
Rumusan masalah
Adapun yang
menjadi rumusan masalah dalam pembahasan kali ini, yait
1.
Bagaimanakah
karakteristik kebijakan pendidikan?
2.
Apakah
kebijakan pendidikan secara umum yang diterapkan
di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Karaktristik Kebijakan Pendidikan
Kebijakan
publik untuk pendidikan berkenaan dengan fungsi-fungsi esensial intuisi
pendidikan khususnya satuan pendidikan (sekolah). Secara faktual kebijakan pendidikan
ada pada dua tataran, yaitu: (1). Pemerintah yang berfungsi memberikan
pelayanan kebutuhan satuan pendidikan pada seemua jenjang dan jenis; dan (2).
Satuan pendidikan yang melaksanakan belajar melalui kegiatan pembelajaran.[4]
Hough
menjelaskan bahwa dalam dunia pendidikan, kebijjakan kadang-kadang digunakan
dalam pengertian sempit untuk mengacu pada pernyataan tindakan formal yang
diikutinya. Kebijakan dianggap sebagai suatu posisi atau pendirian yang
dikembangan untuk menanggapi suatu masalah atau isu komplik dalam rangka
pencapaian tujuan tertentu, padahal kebijakan pendidikan lebih luas dari itu
dan biasanya dibedakan dengan konsep-konsep yang saling terkait. Pada dasarnya
kebijakan pendidikan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan akan
mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
sendiri dan bertanggung jawab membangu bangsanya. Dengan demikian kebijakan
pendidikan dalam pembangunan nasional harus dapat menumbuhkan dan memperdalam
rasa cinta tanah air, mempertebal semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan
sosial yang tinggi.[5]
1.
Konsep
Kebijakan
Kebijakan
(policy) seringkali disamakan dengan
istilah seperti politik, program, keputusan, undang-undang, aturan,
ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.[6]
Menurut Hough kebijakan merupakan suatu istilah yang sulit untuk dipahami.
Sedangkan menurut imron kebijakan adalah terjemahan dari kata “wisdom” yaitu suatu ketentuan dari
pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan pada seorang atau
kelompok orang tersebut tidak dapat dan tidak mungkin memenuhi aturan umum yang
tadi, dengan kata lain ia dapat perkecualian.[7]
Adapun
pengertian kebijakan menurut beberapa ahli, antara lain:
1. United Nations
Suatu deklarasi mengenai suatu dasar
pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai
aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana.[8]
2. James E.anderson
Perilaku dari sejumlah aktor
(pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu
bidang dalam kegiatan tertentu (wahab 1990).[9]
3. Rich
Mengemukakan bahwa kebijakan tidak hanya
mengatur sistem operasi secara internal, tetapi juga mengajikan pengaturan yang
berhubungan dengan fungsi secara definitif diantara sistem.[10]
Jadi,
dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kebijakan(wisdom) adalah kepandaian, kemahiran,
kebijaksanaan, kearifan, rangkaian konsep, dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan didasarkan atas suatu
ketentuan dari pimpinan yang berbeda dari aturan yang ada, yang dikenakan pada
seorang karena adanya alasan yang dapat diterima seperti untuk tidak
memberlakukan aturan yang berlaku kaarena sesuatu alasan yang kuat.[11]
Adapun ayat atau hadis yang terkait dengan kebijakan dalam
pendidikan, yaitu:
1. Ayat-ayat yang terkait dengan kebijakan dalam
bimbingan, yaitu
a.
Q. S. An-nisa(4): 9
Terjemahnya: Dan hendaklah takut (kepada
Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah
dibelakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraanya). Oleh sebab
itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara
dengan tutur kata yang benar. [12]
b.
Q. S. Al-Alaq (96) :1-5
Terjemahnya:”Bacalah dengan nama Tuhanmu
yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah
dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang mengerjakan(manusia ) dengan pena, Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”[13]
Hadits
yang terkait dengan kebijakan dalam pendidikan, yaitu:
Artinya: Dari Amr Bin Syu’aib dari
bapaknya dari kakeknya berkata: Rasulullah saw. Bersabda “perintahkanlah anakmu
untuk melakukan shalat, pada saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah
mereka pada saat mereka berumur sepuluh tahun jika mereka meninggalkan shalat
dan pisahkanlah mereka dalam hal tempa tidur.”(H.R Muslim)[14]
Artinya:Dari mirul Mukminin Abi Hafsh
Umar bin Khattab, beliau berkata,”Aku mendengar Rasulullah saw.
Bersabda,”Sesungguhnya (segala) amal itu tergantung dari niat dan sesungguhnya
setiap orang itu mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya
menuju kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijranya akan diterima disisi Allah dan
Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk dunia diperolehnya atau wanita yang
ingin dinikahinya maka hijrahnya hijrahnya menuju apa yang diniatkannya”(H.R.
Bukhori-Muslim).[15]
Hubungan
antara hadis dengan kebijakan pendidikan adalah dalam bentuk penetapan
kebijakan pendidikan yang tergantung dari niat awal. Hal itu sesuai dengan
realita yang terlalu banyak pejabat yang melakukan KKN, sehingga kebijakan
pendidikan di lapangan tidak berjalan sesuai harapan.
2.
Pendekatan
Kebijakan dalam Pendidikan
Adapun
beberapa pendekatan kebijakan yang dapat dilakukan dalam pendidikan, yaitu:
a.
Pendekatan
Empirik(Empirical)
Pendekatan Empiris ditekankan terutama pada penjelasan
berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan tertentu dalam bidang pendidikan
bersifat factual atau facta dan macam informasi yang dihasilkan bersifat
deskriptif dan prediktif. Oleh karena itu, analisa kebijakan pendidikan secara
empiris diharapkan dapat menghasilkan dan memindahkan informasi-informasi
penting mengenai nilai-nilai, fakta-fakta, dan tindakan-tindakan pendidikan. Karena
itu pengetahuan mengenai apakah (fakta), mana yang benar (nilai), dan apa yang
harus dilakukan (tindakan) memerlukan penggunaan berbagai metode penelitia dan
argument untuk menghasilkan dan memindahkan informasi masalah, alternative,
tindakan, hasil, dan hasil guna kebijakan.[16]
Berdasarkan
penjelasan diatas dapat penulis paparkan bahwa pendekatan ini merupakan salah
satu cara untuk pencarian informasi dengan adanya hubungan sebab-akibat
(kausalitas) yang sifanya factual atau fakta yang terjadi di lapangan. Sehinnga
dalam penetapan suatu kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum.
b. Pendekatan Evaluatif
Penekanan pendekatan evaluative adalah terutama pada
penentuan bobot atau manfaatnya (nilai) dari beberapa kebijakan menghasilkan
informasiyang bersifat evaluative. Evaluasi terhadap kebijakan membantu
menjawab pertanyaan-pertanyaan evalautif mengenai bagaimana nilai suatu
kebijakan dan menurut nilai yang mana kebjakan itu ditentukan.[17]
Dengan demikian evaluasi kebijakan adalah suatu aktivitas yang didesain untuk
menilai hasil-hasil program yng berbeda secara khusus dalam hal objeknya,
teknik-teknik pengukuran, dan metode analisisnya untuk mengetahui seberapa jauh
suatu kegiatan dapat dilaksanakan atau tidak, berhasil sesuai diharapkan atau
tidak.[18]
Berdasarkan
uraian diatas dapat diuraikan bahwa pendekatan evaluatif merupakan pendekatan
yang dilakukan untuk mengevaluasi terhadap kebijakan pendidikan yang telah
dijalankan apakah sesuai dengan rencana sehingga menemukan suatu hasil atau
nilai yang bermanfaat di lapangan.
3. Model-Model Kebijakan dalam Pendidikan
Beberapa masalahkebijkan tidak dapat pahami hanya
dengan menggunakan metodologi kuantitatif, Karena sifatnya khusus dan unik
seperti kegiatan pembelajaran,peningkatan kualitas mengajar guru, penataan
ruang kelas, supervise pengajaran, perencanaan pengajaran, dan kegiatan lainny
di sekolah. Menurut Dunn dapat digunakan
berbagai tipe model kebijakan, yaitu model deskriptif, model normative, model
formal, model simbolis, model procedural,dan model sebagai pengganti dan persepsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapa menarik penjelasan bahwa model dalam
kebijakan pendidikan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:[19]
a. Model deskriftif
Model deskriptif ini menjelaskan apakah fasilitas
pembelajaran sudah memadai, kualifikasi guru memenuhi persyaratan, anggaran untuk pembelajran, dan
sebagainya. Dengan demikian model deskriptif adalah pendekatan positif yang
diwujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan menyajikan suatu “state of the
art” atau keadaan apa adanya dari suatu gejala yang sedang diteliti dan perlu
diketahui oleh para pemakai.[20]
Dari penjelasan tersebut, penulis dapat menyimpulkan
bahwa model deskriptif dapat digunakan dalam mengambarkan suatu keadaan dalam
proses penelitan yang akan diketahui. Selain itu,
dalam penerapan kebijakan pendidikan diperlukan model deskriptif untuk
menggambarkan suatu keadaan terhadap kebijakan pendidikan yang digunakan di
lapangan apakah berjalan sesuai yang diinginkan dalam proses penelitian.
b. Model Normatif
Diantara beberapa jenis model normatif yang diguanakan
dalam analis kebijakan adalah nilai normative yang membantu menentukan tingkat
kapasitas pelayanan yang optimum, pengaturan volume, dan waktu yang optimum
serta keuntungan yang optimum pada investasi public. Karena masalah-masalah
keputusan normative adalah mencari nilai-nilai variable terkontrol (kebijakan)
akan menghasilkan manfaat besar (nilai), sebagaimana terukur dalam variabel
keluaran yang hendak diubah oleh para pembuat kebijakan. Tujuan model normative
bukan hanya menjelaskan atau memprediksi tetapi juga memperhatikan dalil dan
rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai), juga
mambantu memudahkan para pemakai hasil penelitian, menentukan atau memilih
salah satu dari beberapa pilihan cara atau procedure yang paling efesien dalam
memecahkan suatu masalah.[21]
Berdasarkan
pemaparan diatas,dapat dikatakan bahwa model normatif adalah model yang
digunakan dalam proses penelitian untuk menemukan hasil penelitian dengan tetap
memperhatikan dalil dan rekomendasi agar dapat mencapai nilai yang sesuai
dengan norma-norma pada penerapan kebijakan pendidikan tersebut.
c. Model Verbal
Model verbal dalam kebijakan didekspressikan dalam
bahasa sehari-hari, bukannya bahasa logika simbolis dan matematika sebagai
masalah substansi. Dalam menggunakan model verbal, analis bersandar pada
penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian
nalar menhasilkan argument kebijakan, bukan berbentuk nilai-nilai angka pasti.[22]
Jadi,
model verbal merupakan suatu kebijakan yang diekspresikan dalam kehidupan
sehari-hari, dan secara relatif mudah dikomunikasikan terutama bagi orang awam.
Dalam model ini, akan menghasilkan pemikiran yang berargumen kebijakan, namun
tidak berbentuk pada simbol angka.
d. Model Simbolis
Model simbolis menggunakan simbol-simbol matematis
untuk menerangkan hubungan antara variabel-variabel kunci yang dipercaya
menciri suatu masalah. Prediksi atau solusi yang optimal dari suatu masalah
kebijakan diperoleh dari model-model simbolis dengan meminjam dan mengunakan
metode-metode matematika, statistic, dan logika. Model-model simbolis dapat
memperoleh keputusan, tetapi hanya jika premis-premis sebagai pijakan penyusun
model dibuat eksplisit dan jelas.[23]
e. Model Prosedural
Model procedural menampilkan hubungan yang dinamis
antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan.
Model prosedural dicatat dengan memanfaatkan model ekspressi yang simbolis
dalam penentuan kebijakan. Perbedaannya, simbolis menggunakan data actual untuk
memperkirakan hubungan antara variabel kebijakan dan data hasil. Sedangkan yang
su memungkinkan simulasidan penelitianyang kreatif, kelemahannya sering
mengalami kesulitn mencari data atau argument yang dapat memperkuat
asumsi-asumsinya, dan biaya model procedural ini relative tinggi disbanding
model verbal dan simbolis.[24]
f. Model sebagai Pengganti dan Perspektif
Model pengganti diasumsikan sebagai pengganti dari
masalah-masalah substantive. Model pengganti mulai didasari atau tdak dari
asumsi bahwa masalah formal adalah representasi yang sah dari masalah yang
substantive . model perspektif didasarkan pada asumsi bahwa masalah formal
tidak pernah sepenuhnya mewakili secara sah masalah substansi, sebaliknya model
perspektif dipandang sebagai satu dari banyak cara lain yang dapat digunakan
untuk merumuskan masalah substantive. Perbedaan antara model pengganti dan
perspektif adalah penting dalam analisis kebijakan public.[25]
B. Kebijakan Pendidikan
di Indonesia
Ada
beberapa yang menjadi kebijakan pendidikan di Indonesia:
1. Kebijakan pendidikan dalam UUD 1945
Pendidikan adalah suatu kebutuhan pokok bagi semua
makhluk yang mempunyai alat berpikir, yaitu akal.[26]
Bagi semua orang mendefinisikan pendidikan akan diperolah dengan menyekolahkan
anaknya dibangku sekolah untuk mendapatkan pengetahuan, pengalaman dan
keterampilan.
Permasalahan pendidikan bangsa Indonesia sendiri telah
diatur dalam UUD 1945 dan hal ini telah diperjelas dengan dirumuskannya
norma-norma pokok yang hrus menjiwai usaha pendidikan dan pengembangan
kebudayaan yang akan dijelaskan oleh penyelenggara Negara.[27]
Norma-norma itu tersirat dalam Bab XIII Pasal 31 dan 32 UUD 1945, sebagai
berikut:
Pasal 31
1)
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.
2)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu system pengajara
nasional yang diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 32
1)
Pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia
Penyelenggaraan norma-norma dasar di bidang pendidikan
sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang berlaku sekarang ini,
pada dasarnya diinstruksikan kepada pemerintah sebagai penyelenggaraan Negara,
untuk:
a. Mendasarkan setiap usaha pendidikan dan pengembangan
kebudayaan pada pandangn hidup Pancasila yang terdiri dari kesatuan sila-sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikma kebijaksanaan dalam
permusyarawatan perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Setiap usaha pendidikan harus diwujudkan untuk
mencapai tujuan Negara dengan melakukan kegiatan pembentukan warga nagara yang
mampu ikut serta bersama pemerintah untuk :
1.
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.
Mencerdaskan kehidupan bangsa.
3.
Memajukan kesejahteraan umum.
4.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social.[28]
2. Kebijakan Pendidikan mengenai UU Guru dan Dosen
Guru dalam definisi UU No.14 tahun 2005 tentang guru
dan dosen disebut bahwa guru adalah pendidik professional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada jalur pendidikan formal, serta pada jenjang pendidikan dasar
dan pendidikan menengah, termasuk pendidikan usia dini.sedangkan pada (Bab 1
pasal 1) adalah pendidik profesional dengan tugas utama, mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah.[29]
Di dalam peraturan pemerintah No. 38 tahun 1992 Pasal
20, menjelaskan bahwa:”tenaga kependidikan yang ditugaskan untuk bekerja
sebagai pengelola satuan pendidikan dan pengawas pada jenjang pendidikan dasar
atau menengah dipilih dari kalangan guru.” Ini berarti bahwa selain peranannya
untuk menyukseskan kegiatan administrasi di sekolah, guru perlu secara
bersungguh-sungguh menimba pengalaman dalam administrasi sekolah, jika karir
yang ditempuhnya nanti adalah menjadi pengawa, kepala sekolah/pengelola satuan
pendidikan lain.[30]
Adapun kaitannya dengan kompotensi guru, menurut UU
No.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen (bab I pasal I), kompotensi guru adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dihayati dan
dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Dalam UU No. 14
tahun 2005 Bab IV pasal 10, seorang guru dikatakan kompoten apabila telah
menguasai empat kompotensi dasar, yaitu kompotensi pedagogic, kompotensi
kepribadian, kompotensi social, dan kompotensi professional.[31]
UU guru-dosen tersebut, jajaran dosen setidaknya akan
mendapatkan tujuh kesejahteraan terkait profesinya sebagai dosen, yaitu:
1.
Tunjangan profesi, yakni: satu kali gaji pokok. Tunjangan ini sebelumnya
tidak ada.
2.
Tunjangan fungsional yang diambil dari APBN/APBD yang besarnya meningkat
lebih 80% dari sebelumnya yang hanya 25-30 % dari gaji pokok.
3.
Tunjangan khusus (definisinya belum ada), besarnya satu kali gaji pokok.
4.
Berhak atas rumah dinas, khususnya bagi tenaga pengajar yang berada di
daerah khusus.
5.
Penghargaan prestasi khusus dalam beasiswa dan melanjutkan pendidikan
atas biaya Negara.
6.
Kemudahan bagi anak/putra-putrinya yang akan mendapatkan pendidikan
gratis dalam satuan pendidikan tertentu.
7.
Peningkatan jaminan social, kesehatan dan karier.[32]
3.
Kebijakan Pendidikan Mengenai Sisdiknas
Perbaharuan system pendidikan nasional dilakukan untuk
memperbaharui visi dan misi serta strategi pembangunan pendidikan nasional.[33]
Ø Dasar, Fungsi, dan Tujuan Sistem Pendidikan Nasional
a. Dasar dari UU RI No. 20 tahun 2003 adalah pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NKRI tahun 1945
b. Fungsi dari UU RI No. 20 tahun 2003 adalah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban.
c. Tujuan dari UU RI No. 20 tahun 2003, untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[34]
Ø Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
a. Pendidikan dilaksanakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan kemajemukan bangsa.
b. Sebagai kesatuan yang sistematik dengan system terbuka
dan mukti makna.
c. Sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
d. Member keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
e. Diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis dan berhitung bagi segenap warga Negara.
f. Pendidikan diselenggarakan dengn memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan.[35]
4. Kebijakan Pendidikan Pendidikan mengenani Standar
Pelayanan Minimun
Standar pelayanan minimum merupakan istilah dalam
pelayanan public yang menyangkut kualitas dan kuatitas pelayanan public yang
disediakan oleh pemerintah sebagai salah satu indicator kesejahteraan
masyarakat.[36]
Standar pelayanan minimum ini terdiri dari delapan standar pelayanan minimal
sebagai berikut:
a.
Standar isi: pasal 5-(1). Standar isi mencakup lingkup materi dan
tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenjang
dan jenis pendidikan tertentu.(2). Standar isi sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) memuat kerangka dasar struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum
tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan /akademik.[37]
b.
Standar proses: pasal 19 (1) proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspirasi, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berparsipasi aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat,
dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.[38]
c.
Standar kompetensi kelulusan: pasal 25(1). Stadar kompotensi lulusan
digunakan sebagai pedoman penilaian
dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.(2). Standar
kompotensi lulusan meliputi mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan
mata kuliah atau kelompok mata kuliah[…][39]
d.
Standar pendidikan dan tenaga kependidikan: pasal 28(1). Pendidik harus
memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan utuan untuk mewujudkan pendidikan
nasional. (2). Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang
harus dipenuhi olehseorang pendidik, (3). Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidian anak usia dini, meliputi:
kompetensi pedagogic, kepribadian, professional, dan social.[40]
e.
Standar sarana dan prasarana: pasal 4(1) setiap satuan pendidikan wajib
memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan,
buku dan sumber belajar lainnya,(2). Setiap satuan pendidikan memiliki prasarana yang
meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik,
ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja.[41]
f.
Standar pengelolaan:
·
Standar pengelolaan oleh satuan pendidikan: pasal 49(1) pengelolaan
satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan
manajemen yang berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan,
partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas.(2). Pengelolaan satuan pendidikan
pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi pergururan tinggi.
·
Standar pengelolaan oleh pemerintah daerah: pasal 59(1). Pemerintah
daerah menyusun rencana kerja tahunanbidang pendidikan dengan memperioritaskan
program: wajib belajar, peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang
pendidikan menengah, penuntasan pemberantasan buta aksara.[42]
g.
Standar pengelolaan oleh pemerintah: pasal 60- pemerintah menyusun
rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memperioritaskan program, wajib
belajar, peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan
menengah dan tinggi, penuntasan pemberantasan buta aksara, peningkatan status
guru sebagai profesi.[43]
h.
Standar pembiayaan: pasal 62(1) pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya
operasi, investasi dan biaya personal. (2). Biaya investasi satuan pendidikan
meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia
dan modal kerja tetap.(3). Biaya personal sebagaimana meliputi
biaya pendidikan yang harus dikeluarkan peserta didik. (4). Biaya satuan operasi pendidikan meliputi: gaji
pendidik dan kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,bahan
atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak
langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi.[44]
i.
Standar penilaian pendidikan: pasal 63(1)penilaian pendidikan pada
jenjamg pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: penilaian hasil belajar
oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan penilaian
hasil belajar oleh pemerintah.(2). Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan
tinggi terdiri atas: penilaian hasil belajar oleh pendidik, dan penilaian hasil
belajar oleh satuan pendidikan tinggi.[45]
5. Kebijakan pendidikan tentang BHP
Pasal 53 UU Sisdiknas mengamanatkan manajemen
pendidikan dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Setelah melalui
penggodokan yang panjang (sejak 2003), revisi demi revisi serta pro-kontrak
dari berbagai kalangan, maka pada tanggal 17 desember 2008 DPR RI mengesahkan
UU BHP. Bahwa BHP adalah badan hokum yang dibentuk dalam rangka menjalankan
prinsip pendidikan sesuai UU No. 20 tahun 2003. Prinsip yang dimaksudkan adalah
pnyelengaraan pendidikan harus berjalan secara demokrasi, berkeadilan, tidak
deskriminatif, menunjang tinggi HAM, nilai keagamaan, kultru, keberagaman serta
memberdayakan semua komponen masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan.[46]
BHP
mengatur sistem pendidikan formal ditingkat dasar, menengah, dan pendidikan
tinggi. Terdapat berbagai macam jenis BHP sesuai pasal 1 UU BHP, diantaranya
Badan Hukum Pendidikan Pemerintah(BHPP) didirikan oleh pemerintah, Badan Hukum
Pendidikan Pemerintah Daerah(BHPPD) didirikan oleh pemerintah daerah, Badan
Hukum Pemerintah Masyarakat (BHPM) didirikan oleh masyarakat, serta Badan Hukum
Pendidikan Penyelenggaraan, didirikan oleh Yayasan atau perkumplan.[47]
UU
BHP menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi
luas, akademik ataupun non akademik tanpa kawatir lagi dengan kooptasi
birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh UU BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip
seperti nirlaba, akuntabilitas,transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang
memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa
komitmen pemerintah untuk memantu lembaga pendidikan tidak berkurang bahkan
bertambah besar.[48]
Pembentukan
BHP ini adalah merupakan amanah UU sistem pendidikan Nasional NO. 20 tahun 2003
pasal 53,(1) penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan forml yang didirikan
oleh pemerintah/ masyarakat berbentuk badan hukum pembentukan BHP adalah bentuk
koreksi atas pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika
dari BHMN.[49]
UU
BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak
1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi.[50]
UU BHP secara khusus menjamin warga NKRI terutama yang ada di quintl lima
termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3% dari kategori ini yang menikmati
perguruan tinggi. Satuan pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga
negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling
sedkit 20% dari seluruh peserta didik yang baru. Satuan pendidikan BHP harus
menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikit
20% beasiswa/ bantuan biaya pendidikan untuk mereka kurang mampu dan/atau
peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi.[51]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Setelah
meramu dari beberapa buku yang terkait dengan kebijakan pendidikan, penyusun
dapat menyimpulkan bahwa dalam penerapan suatu kebijakan dalam pendidikan harus
sesuai dengan hal-hal yang telah ditentukan dalam batang tubuh Undang-Undang
Republik Indonesia yang menjadi Dasar Negara, selain itu juga telah diatur
dalamUU guru dan dosen, Sisdinas, Standar Pelayanan Minimun, serta BPH.
Secara
garis besar, pengertian dari kebijakan pendidikan itu tidak lain sebagai
kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, kearifan, rangkaian konsep, dan asa yang
menjadi besar dab dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan didasarkan
atas suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dari aturan yang ada, yang
dikenakan pada seorang karena adanya alasan yang dapat diterima seperti untuk
tidak memberlakukan aturan yang berlaku karena sesuatu alasan yang kuat.
Dalam
penerapan kebijakan pendidikan diperlukan guru atau dosen yang berkompeten dan
profesional sebagaimana yang telah dijelaskan dalam UU No. 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Dawud Sulaiman Bin Al Aay’abi Bin Ishak Bin
Basyir Bin Syidad Bin Amru Al Azdi Alis, Sunan
Abu Dawud, (Juz I, Beirut: Al Maktabah Al-‘Asriyah, t. th),
Al-Qur’an dan terjemahannya, Departemen
Agama Islam, Jakarta:SYGMA, 2009
Gunawan , Ary H., kebijakan-kebijakan pendidikan (edisi revisi), Jakarta: Rineka
Cipta, cet.II, 1995
Muhammad Bin Abdullah Aljardani l-Dimyati,40 Hadits Imam Nawawi, cetakan pertama, diterjemahkan oleh Umar
Husin, Jakarta Selatan: Hikmah, 2011
Prihatin, Eka, Teori Administrasi Pendidikan, Bandung:
Alfabet, 2011
Sagala, Syaiful,
Administrasi pendidikan kontemporer, Bandung:
Alfabeta, 2000
Soejipto,
profesi Keguruan, cetakan keempat, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Umar, Bukhori, hadis
tarbawi (pendidikan dalam perspektif hadis), Jakarta:Hamzah, cet.I,
Yasin, Sulchan, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Surabaya:
Cipta Karya,2001
kak kenapa tidak muncul catatan kakinya?
BalasHapus