Minggu, 21 Juni 2015

KEBIJAKAN PENDIDIKAN




KARAKTERISTIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Sebagaimana kita ketahui, pendidikan adalah suatu interaksi manusia ( human interaction)  antara pendidik/ guru dengan anak didik/subjek didik/siswa yang dapat menunjang pengembangan manusia seutuhnya yang berorientasi pada nilai-nilai dan pelestarian serta pengembangan kebudayaan yang berhubungan dengan usaha-usaha pengembangan manusia.
Menurut Drijarkara SJ, pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Jadi, pendidikan dilakukan oleh orang dewasa dengan upaya yang sungguh-sungguh serta strategi dan siasat yang tepat demi keberhasilan pendidikan. Pendidikan berlangsung secara formal, no-formal, dan in-formal serta berlangsung seumur hidup. [1] sehingga dalam proses pembelajaran terkadang kita mendengar satu kalimat  mengatakan bahwayang disampaikan oleh salah soerang dosen bahwa tujuan dari pendidikan itu sendiri tidak lain untuk memanusiakan manusia.[2]
Di dalam memajukan pendidikan di Indonesia, pengaruh pemerintah sangat besar, hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang ditempuh demi suksesnya pendidikan seluruh warga Negara. Misalnya, perubahan pendidikan yang dimulai dari kebijakan pendidikan yang dilihat dari awal kedatangannya Belanda hingga memasuki zaman orde baru yang terrus mengalami banyak inovasi baru dalam bidang pendidikan. Selain itu juga, dari peranan pemerintah dan swasta dalam menyiapkan tenaga kerja dan wiraswasta melalui pendidikan formal dan non-formal. Juga dalam bahaya narkoba, morfinisme, alkoholisme, dan kenakalan remaja yang termasuk penghambat pendidikan generasi muda, perlu diketahui beserta upayah-upaya penanggulangannya.[3]
Dalam hal ini sudah jelas bahwa pemerintah memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Kebijakan pendidikan yang membahas tentang karakteristik kebijakan yang di dalamnya mencakup tentang, pertama: konsep kebijakan pendidikan, pendekatan kebijakan pendidikan, serta model-model yang digunakan dalam pendidikan. Kedua: macam-macam kebijakan dalam pendidikan, akan dibahas dalam bab selanjutnya.
B.     Rumusan masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan kali ini, yait
1.      Bagaimanakah karakteristik kebijakan pendidikan?
2.      Apakah kebijakan pendidikan secara umum yang  diterapkan di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Karaktristik Kebijakan Pendidikan
Kebijakan publik untuk pendidikan berkenaan dengan fungsi-fungsi esensial intuisi pendidikan khususnya satuan pendidikan (sekolah). Secara faktual kebijakan pendidikan ada pada dua tataran, yaitu: (1). Pemerintah yang berfungsi memberikan pelayanan kebutuhan satuan pendidikan pada seemua jenjang dan jenis; dan (2). Satuan pendidikan yang melaksanakan belajar melalui kegiatan pembelajaran.[4]
Hough menjelaskan bahwa dalam dunia pendidikan, kebijjakan kadang-kadang digunakan dalam pengertian sempit untuk mengacu pada pernyataan tindakan formal yang diikutinya. Kebijakan dianggap sebagai suatu posisi atau pendirian yang dikembangan untuk menanggapi suatu masalah atau isu komplik dalam rangka pencapaian tujuan tertentu, padahal kebijakan pendidikan lebih luas dari itu dan biasanya dibedakan dengan konsep-konsep yang saling terkait. Pada dasarnya kebijakan pendidikan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan akan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri dan bertanggung jawab membangu bangsanya. Dengan demikian kebijakan pendidikan dalam pembangunan nasional harus dapat menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta tanah air, mempertebal semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi.[5]
1.      Konsep Kebijakan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik, program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.[6] Menurut Hough kebijakan merupakan suatu istilah yang sulit untuk dipahami. Sedangkan menurut imron kebijakan adalah terjemahan dari kata “wisdom” yaitu suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan pada seorang atau kelompok orang tersebut tidak dapat dan tidak mungkin memenuhi aturan umum yang tadi, dengan kata lain ia dapat perkecualian.[7]

Adapun pengertian kebijakan menurut beberapa ahli, antara lain:
1.      United Nations
Suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana.[8]
2.      James E.anderson
Perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang dalam kegiatan tertentu (wahab 1990).[9]
3.      Rich
Mengemukakan bahwa kebijakan tidak hanya mengatur sistem operasi secara internal, tetapi juga mengajikan pengaturan yang berhubungan dengan fungsi secara definitif diantara sistem.[10]
Jadi, dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kebijakan(wisdom) adalah kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, kearifan, rangkaian konsep, dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan didasarkan atas suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dari aturan yang ada, yang dikenakan pada seorang karena adanya alasan yang dapat diterima seperti untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku kaarena sesuatu alasan yang kuat.[11]
Adapun ayat atau hadis yang terkait dengan kebijakan dalam pendidikan, yaitu:
1.      Ayat-ayat yang terkait dengan kebijakan dalam bimbingan, yaitu
a.       Q. S. An-nisa(4): 9

Terjemahnya: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraanya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. [12]
b.      Q. S. Al-Alaq (96) :1-5
Terjemahnya:”Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang mengerjakan(manusia ) dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”[13]

Hadits yang terkait dengan kebijakan dalam pendidikan, yaitu:

Artinya: Dari Amr Bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Rasulullah saw. Bersabda “perintahkanlah anakmu untuk melakukan shalat, pada saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka pada saat mereka berumur sepuluh tahun jika mereka meninggalkan shalat dan pisahkanlah mereka dalam hal tempa tidur.”(H.R Muslim)[14]

Artinya:Dari mirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin Khattab, beliau berkata,”Aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda,”Sesungguhnya (segala) amal itu tergantung dari niat dan sesungguhnya setiap orang itu mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya menuju kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijranya akan diterima disisi Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk dunia diperolehnya atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya hijrahnya menuju apa yang diniatkannya”(H.R. Bukhori-Muslim).[15]
Hubungan antara hadis dengan kebijakan pendidikan adalah dalam bentuk penetapan kebijakan pendidikan yang tergantung dari niat awal. Hal itu sesuai dengan realita yang terlalu banyak pejabat yang melakukan KKN, sehingga kebijakan pendidikan di lapangan tidak berjalan sesuai harapan.

2.      Pendekatan Kebijakan dalam Pendidikan
Adapun beberapa pendekatan kebijakan yang dapat dilakukan dalam pendidikan, yaitu:
a.       Pendekatan Empirik(Empirical)
Pendekatan Empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan tertentu dalam bidang pendidikan bersifat factual atau facta dan macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif dan prediktif. Oleh karena itu, analisa kebijakan pendidikan secara empiris diharapkan dapat menghasilkan dan memindahkan informasi-informasi penting mengenai nilai-nilai, fakta-fakta, dan tindakan-tindakan pendidikan. Karena itu pengetahuan mengenai apakah (fakta), mana yang benar (nilai), dan apa yang harus dilakukan (tindakan) memerlukan penggunaan berbagai metode penelitia dan argument untuk menghasilkan dan memindahkan informasi masalah, alternative, tindakan, hasil, dan hasil guna kebijakan.[16]
Berdasarkan penjelasan diatas dapat penulis paparkan bahwa pendekatan ini merupakan salah satu cara untuk pencarian informasi dengan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) yang sifanya factual atau fakta yang terjadi di lapangan. Sehinnga dalam penetapan suatu kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum.
b.      Pendekatan Evaluatif
Penekanan pendekatan evaluative adalah terutama pada penentuan bobot atau manfaatnya (nilai) dari beberapa kebijakan menghasilkan informasiyang bersifat evaluative. Evaluasi terhadap kebijakan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan evalautif mengenai bagaimana nilai suatu kebijakan dan menurut nilai yang mana kebjakan itu ditentukan.[17] Dengan demikian evaluasi kebijakan adalah suatu aktivitas yang didesain untuk menilai hasil-hasil program yng berbeda secara khusus dalam hal objeknya, teknik-teknik pengukuran, dan metode analisisnya untuk mengetahui seberapa jauh suatu kegiatan dapat dilaksanakan atau tidak, berhasil sesuai diharapkan atau tidak.[18]
Berdasarkan uraian diatas dapat diuraikan bahwa pendekatan evaluatif merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengevaluasi terhadap kebijakan pendidikan yang telah dijalankan apakah sesuai dengan rencana sehingga menemukan suatu hasil atau nilai yang bermanfaat di lapangan.
3.      Model-Model Kebijakan dalam Pendidikan
Beberapa masalahkebijkan tidak dapat pahami hanya dengan menggunakan metodologi kuantitatif, Karena sifatnya khusus dan unik seperti kegiatan pembelajaran,peningkatan kualitas mengajar guru, penataan ruang kelas, supervise pengajaran, perencanaan pengajaran, dan kegiatan lainny di sekolah. Menurut Dunn  dapat digunakan berbagai tipe model kebijakan, yaitu model deskriptif, model normative, model formal, model simbolis, model procedural,dan model sebagai pengganti dan persepsi. Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapa menarik penjelasan bahwa model dalam kebijakan pendidikan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:[19]
a.       Model deskriftif
Model deskriptif ini menjelaskan apakah fasilitas pembelajaran sudah memadai, kualifikasi guru memenuhi persyaratan, anggaran untuk pembelajran, dan sebagainya. Dengan demikian model deskriptif adalah pendekatan positif yang diwujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan menyajikan suatu “state of the art” atau keadaan apa adanya dari suatu gejala yang sedang diteliti dan perlu diketahui oleh para pemakai.[20]
Dari penjelasan tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa model deskriptif dapat digunakan dalam mengambarkan suatu keadaan dalam proses penelitan yang akan diketahui. Selain itu, dalam penerapan kebijakan pendidikan diperlukan model deskriptif untuk menggambarkan suatu keadaan terhadap kebijakan pendidikan yang digunakan di lapangan apakah berjalan sesuai yang diinginkan dalam proses penelitian.
b.      Model Normatif
Diantara beberapa jenis model normatif yang diguanakan dalam analis kebijakan adalah nilai normative yang membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum, pengaturan volume, dan waktu yang optimum serta keuntungan yang optimum pada investasi public. Karena masalah-masalah keputusan normative adalah mencari nilai-nilai variable terkontrol (kebijakan) akan menghasilkan manfaat besar (nilai), sebagaimana terukur dalam variabel keluaran yang hendak diubah oleh para pembuat kebijakan. Tujuan model normative bukan hanya menjelaskan atau memprediksi tetapi juga memperhatikan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai), juga mambantu memudahkan para pemakai hasil penelitian, menentukan atau memilih salah satu dari beberapa pilihan cara atau procedure yang paling efesien dalam memecahkan suatu masalah.[21]
Berdasarkan pemaparan diatas,dapat dikatakan bahwa model normatif adalah model yang digunakan dalam proses penelitian untuk menemukan hasil penelitian dengan tetap memperhatikan dalil dan rekomendasi agar dapat mencapai nilai yang sesuai dengan norma-norma pada penerapan kebijakan pendidikan tersebut.
c.       Model Verbal
Model verbal dalam kebijakan didekspressikan dalam bahasa sehari-hari, bukannya bahasa logika simbolis dan matematika sebagai masalah substansi. Dalam menggunakan model verbal, analis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menhasilkan argument kebijakan, bukan berbentuk nilai-nilai angka pasti.[22]
Jadi, model verbal merupakan suatu kebijakan yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari, dan secara relatif mudah dikomunikasikan terutama bagi orang awam. Dalam model ini, akan menghasilkan pemikiran yang berargumen kebijakan, namun tidak berbentuk pada simbol angka.
d.      Model Simbolis
Model simbolis menggunakan simbol-simbol matematis untuk menerangkan hubungan antara variabel-variabel kunci yang dipercaya menciri suatu masalah. Prediksi atau solusi yang optimal dari suatu masalah kebijakan diperoleh dari model-model simbolis dengan meminjam dan mengunakan metode-metode matematika, statistic, dan logika. Model-model simbolis dapat memperoleh keputusan, tetapi hanya jika premis-premis sebagai pijakan penyusun model dibuat eksplisit dan jelas.[23]

e.       Model Prosedural
Model procedural menampilkan hubungan yang dinamis antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Model prosedural dicatat dengan memanfaatkan model ekspressi yang simbolis dalam penentuan kebijakan. Perbedaannya, simbolis menggunakan data actual untuk memperkirakan hubungan antara variabel kebijakan dan data hasil. Sedangkan yang su memungkinkan simulasidan penelitianyang kreatif, kelemahannya sering mengalami kesulitn mencari data atau argument yang dapat memperkuat asumsi-asumsinya, dan biaya model procedural ini relative tinggi disbanding model verbal dan simbolis.[24]
f.       Model sebagai Pengganti dan Perspektif
Model pengganti diasumsikan sebagai pengganti dari masalah-masalah substantive. Model pengganti mulai didasari atau tdak dari asumsi bahwa masalah formal adalah representasi yang sah dari masalah yang substantive . model perspektif didasarkan pada asumsi bahwa masalah formal tidak pernah sepenuhnya mewakili secara sah masalah substansi, sebaliknya model perspektif dipandang sebagai satu dari banyak cara lain yang dapat digunakan untuk merumuskan masalah substantive. Perbedaan antara model pengganti dan perspektif adalah penting dalam analisis kebijakan public.[25]
B.     Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Ada beberapa yang menjadi kebijakan pendidikan di Indonesia:
1.      Kebijakan pendidikan dalam UUD 1945
Pendidikan adalah suatu kebutuhan pokok bagi semua makhluk yang mempunyai alat berpikir, yaitu akal.[26] Bagi semua orang mendefinisikan pendidikan akan diperolah dengan menyekolahkan anaknya dibangku sekolah untuk mendapatkan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan.
Permasalahan pendidikan bangsa Indonesia sendiri telah diatur dalam UUD 1945 dan hal ini telah diperjelas dengan dirumuskannya norma-norma pokok yang hrus menjiwai usaha pendidikan dan pengembangan kebudayaan yang akan dijelaskan oleh penyelenggara Negara.[27] Norma-norma itu tersirat dalam Bab XIII Pasal 31 dan 32 UUD 1945, sebagai berikut:
Pasal 31
1)      Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.
2)      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu system pengajara nasional yang diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 32
1)      Pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia                                             
Penyelenggaraan norma-norma dasar di bidang pendidikan sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang berlaku sekarang ini, pada dasarnya diinstruksikan kepada pemerintah sebagai penyelenggaraan Negara, untuk:
a.       Mendasarkan setiap usaha pendidikan dan pengembangan kebudayaan pada pandangn hidup Pancasila yang terdiri dari kesatuan sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikma kebijaksanaan dalam permusyarawatan perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.      Setiap usaha pendidikan harus diwujudkan untuk mencapai tujuan Negara dengan melakukan kegiatan pembentukan warga nagara yang mampu ikut serta bersama pemerintah untuk :
1.      Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.      Mencerdaskan kehidupan bangsa.
3.      Memajukan kesejahteraan umum.
4.      Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.[28]

2.      Kebijakan Pendidikan mengenai UU Guru dan Dosen
Guru dalam definisi UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen disebut bahwa guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, serta pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, termasuk pendidikan usia dini.sedangkan pada (Bab 1 pasal 1) adalah pendidik profesional dengan tugas utama, mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah.[29]
Di dalam peraturan pemerintah No. 38 tahun 1992 Pasal 20, menjelaskan bahwa:”tenaga kependidikan yang ditugaskan untuk bekerja sebagai pengelola satuan pendidikan dan pengawas pada jenjang pendidikan dasar atau menengah dipilih dari kalangan guru.” Ini berarti bahwa selain peranannya untuk menyukseskan kegiatan administrasi di sekolah, guru perlu secara bersungguh-sungguh menimba pengalaman dalam administrasi sekolah, jika karir yang ditempuhnya nanti adalah menjadi pengawa, kepala sekolah/pengelola satuan pendidikan lain.[30]
Adapun kaitannya dengan kompotensi guru, menurut UU No.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen (bab I pasal I), kompotensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Dalam UU No. 14 tahun 2005 Bab IV pasal 10, seorang guru dikatakan kompoten apabila telah menguasai empat kompotensi dasar, yaitu kompotensi pedagogic, kompotensi kepribadian, kompotensi social, dan kompotensi professional.[31]
UU guru-dosen tersebut, jajaran dosen setidaknya akan mendapatkan tujuh kesejahteraan terkait profesinya sebagai dosen, yaitu:
1.      Tunjangan profesi, yakni: satu kali gaji pokok. Tunjangan ini sebelumnya tidak ada.
2.      Tunjangan fungsional yang diambil dari APBN/APBD yang besarnya meningkat lebih 80% dari sebelumnya yang hanya 25-30 % dari gaji pokok.
3.      Tunjangan khusus (definisinya belum ada), besarnya satu kali gaji pokok.
4.      Berhak atas rumah dinas, khususnya bagi tenaga pengajar yang berada di daerah khusus.
5.      Penghargaan prestasi khusus dalam beasiswa dan melanjutkan pendidikan atas biaya Negara.
6.      Kemudahan bagi anak/putra-putrinya yang akan mendapatkan pendidikan gratis dalam satuan pendidikan tertentu.
7.      Peningkatan jaminan social, kesehatan dan karier.[32]
3.      Kebijakan Pendidikan Mengenai Sisdiknas
Perbaharuan system pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi dan misi serta strategi pembangunan pendidikan nasional.[33]
Ø  Dasar, Fungsi, dan Tujuan Sistem Pendidikan Nasional
a.       Dasar dari UU RI No. 20 tahun 2003 adalah pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NKRI tahun 1945
b.      Fungsi dari UU RI No. 20 tahun 2003 adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban.
c.       Tujuan dari UU RI No. 20 tahun 2003, untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[34]
Ø  Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
a.       Pendidikan dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan kemajemukan bangsa.
b.      Sebagai kesatuan yang sistematik dengan system terbuka dan mukti makna.
c.       Sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
d.      Member keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
e.       Diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga Negara.
f.       Pendidikan diselenggarakan dengn memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.[35]

4.      Kebijakan Pendidikan Pendidikan mengenani Standar Pelayanan Minimun
Standar pelayanan minimum merupakan istilah dalam pelayanan public yang menyangkut kualitas dan kuatitas pelayanan public yang disediakan oleh pemerintah sebagai salah satu indicator kesejahteraan masyarakat.[36] Standar pelayanan minimum ini terdiri dari delapan standar pelayanan minimal sebagai berikut:
a.       Standar isi: pasal 5-(1). Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenjang dan jenis pendidikan tertentu.(2). Standar isi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan /akademik.[37]
b.      Standar proses: pasal 19 (1) proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspirasi, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berparsipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.[38]
c.       Standar kompetensi kelulusan: pasal 25(1). Stadar kompotensi lulusan digunakan  sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.(2). Standar kompotensi lulusan meliputi mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah[…][39]
d.      Standar pendidikan dan tenaga kependidikan: pasal 28(1). Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan utuan untuk mewujudkan pendidikan nasional. (2). Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi olehseorang pendidik, (3). Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidian anak usia dini, meliputi: kompetensi pedagogic, kepribadian, professional, dan social.[40]
e.       Standar sarana dan prasarana: pasal 4(1) setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya,(2). Setiap satuan pendidikan memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja.[41]
f.       Standar pengelolaan:
·         Standar pengelolaan oleh satuan pendidikan: pasal 49(1) pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen yang berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas.(2). Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi pergururan tinggi.
·         Standar pengelolaan oleh pemerintah daerah: pasal 59(1). Pemerintah daerah menyusun rencana kerja tahunanbidang pendidikan dengan memperioritaskan program: wajib belajar, peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah, penuntasan pemberantasan buta aksara.[42]
g.      Standar pengelolaan oleh pemerintah: pasal 60- pemerintah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memperioritaskan program, wajib belajar, peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi, penuntasan pemberantasan buta aksara, peningkatan status guru sebagai profesi.[43]
h.      Standar pembiayaan: pasal 62(1) pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya operasi, investasi dan biaya personal. (2). Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia dan modal kerja tetap.(3). Biaya personal sebagaimana  meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan peserta didik. (4). Biaya satuan operasi pendidikan meliputi: gaji pendidik dan kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi.[44]
i.        Standar penilaian pendidikan: pasal 63(1)penilaian pendidikan pada jenjamg pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah.(2). Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas: penilaian hasil belajar oleh pendidik, dan penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.[45]

5.      Kebijakan pendidikan tentang BHP
Pasal 53 UU Sisdiknas mengamanatkan manajemen pendidikan dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Setelah melalui penggodokan yang panjang (sejak 2003), revisi demi revisi serta pro-kontrak dari berbagai kalangan, maka pada tanggal 17 desember 2008 DPR RI mengesahkan UU BHP. Bahwa BHP adalah badan hokum yang dibentuk dalam rangka menjalankan prinsip pendidikan sesuai UU No. 20 tahun 2003. Prinsip yang dimaksudkan adalah pnyelengaraan pendidikan harus berjalan secara demokrasi, berkeadilan, tidak deskriminatif, menunjang tinggi HAM, nilai keagamaan, kultru, keberagaman serta memberdayakan semua komponen masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.[46]
BHP mengatur sistem pendidikan formal ditingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Terdapat berbagai macam jenis BHP sesuai pasal 1 UU BHP, diantaranya Badan Hukum Pendidikan Pemerintah(BHPP) didirikan oleh pemerintah, Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah(BHPPD) didirikan oleh pemerintah daerah, Badan Hukum Pemerintah Masyarakat (BHPM) didirikan oleh masyarakat, serta Badan Hukum Pendidikan Penyelenggaraan, didirikan oleh Yayasan atau perkumplan.[47]
UU BHP menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik ataupun non akademik tanpa kawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh UU BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas,transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk memantu lembaga pendidikan tidak berkurang bahkan bertambah besar.[48]
Pembentukan BHP ini adalah merupakan amanah UU sistem pendidikan Nasional NO. 20 tahun 2003 pasal 53,(1) penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan forml yang didirikan oleh pemerintah/ masyarakat berbentuk badan hukum pembentukan BHP adalah bentuk koreksi atas pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN.[49]
UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi.[50] UU BHP secara khusus menjamin warga NKRI terutama yang ada di quintl lima termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3% dari kategori ini yang menikmati perguruan tinggi. Satuan pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedkit 20% dari seluruh peserta didik yang baru. Satuan pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikit 20% beasiswa/ bantuan biaya pendidikan untuk mereka kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi.[51]

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Setelah meramu dari beberapa buku yang terkait dengan kebijakan pendidikan, penyusun dapat menyimpulkan bahwa dalam penerapan suatu kebijakan dalam pendidikan harus sesuai dengan hal-hal yang telah ditentukan dalam batang tubuh Undang-Undang Republik Indonesia yang menjadi Dasar Negara, selain itu juga telah diatur dalamUU guru dan dosen, Sisdinas, Standar Pelayanan Minimun, serta BPH.
Secara garis besar, pengertian dari kebijakan pendidikan itu tidak lain sebagai kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, kearifan, rangkaian konsep, dan asa yang menjadi besar dab dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan didasarkan atas suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dari aturan yang ada, yang dikenakan pada seorang karena adanya alasan yang dapat diterima seperti untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku karena sesuatu alasan yang kuat.
Dalam penerapan kebijakan pendidikan diperlukan guru atau dosen yang berkompeten dan profesional sebagaimana yang telah dijelaskan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud Sulaiman Bin Al Aay’abi Bin Ishak Bin Basyir Bin Syidad Bin Amru Al Azdi Alis, Sunan Abu Dawud, (Juz I, Beirut: Al Maktabah Al-‘Asriyah, t. th),
Al-Qur’an dan terjemahannya, Departemen Agama Islam, Jakarta:SYGMA, 2009
Gunawan , Ary H., kebijakan-kebijakan pendidikan (edisi revisi), Jakarta: Rineka Cipta, cet.II, 1995
Muhammad Bin Abdullah Aljardani l-Dimyati,40 Hadits Imam Nawawi, cetakan pertama, diterjemahkan oleh Umar Husin, Jakarta Selatan: Hikmah, 2011
Prihatin, Eka, Teori Administrasi Pendidikan, Bandung: Alfabet, 2011
Sagala, Syaiful, Administrasi pendidikan kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2000
Soejipto, profesi Keguruan, cetakan keempat, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Umar, Bukhori, hadis tarbawi (pendidikan dalam perspektif hadis), Jakarta:Hamzah, cet.I,
Yasin, Sulchan, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Surabaya: Cipta Karya,2001

1 komentar: