Warten und Antworten[1]
“jika cinta yang tulus mampu menguatkan hati yang lemah, lalu mengapa
tidak ujian bisa membuat hati semakin kuat. Cinta yang abadi bukan lahir dari
sebuah angan-angan, tapi lahir dari penantian akan jawaban yang pasti. Lalu
mengapa jawaban kepastian masih saja diabaikan? Itu karena cinta yang dimiliki
dalam kelemahan”
Mentari mulai Nampak dengan malu-malunya, kicauan
burung menyambut dengan irama yang sangat indah. Tiupan angin yang sepoi,
menerbangkan daun kering entah kemana arahnya menambah keindahan pagi yang
sangat polos. Yah, sangat menganggumkan. Udara segar, tetesan embun didaunan
dan warna biru langit yang polos dihiasi awan putih tipis.
Saat matahari menanjak, angin menghantam membawa
kabar akan kedatangan mendung, pembawa air akan kehidupan. Langit biru yang
polos terhiasi awan putih tipis tertutupi. Kau tahu tak ada kesalahan tentang
semuanya. Itu hanya sebuah jawaban akan do’a yang tak diketahui.
Tetes demi tetes mulai jatuh. Tak terhitung. Perlahan
menghantam dan menumpahkan beban yang terpendam. Tumpahan yang kian deras menghantarkan akan lamunan yang mendalam. Kau
tahu itu apa? Yah, lamunan akan sebuah kenangan, akan dirinya yang tak pernah
tak terkenang.
Kau tahu, menyapa akan sebuah kenangan sangat sulit
dan menyakitkan. Walaupun banyak mengatakan kenangan itu indah. Tapi bagi
sebuah kenangan yang mengiris hati, itu sangatlah merugikan. Kau tahu kenapa?
Entahlah, aku pun tak tahu. Tetesan hujan perlahan kembali menghantarkanku pada
sebuah kenangan akan dirinya yang tak terkenang, walaupun sebenarnya aku
menolak. Tapi apalah daya hujan kembali mengingatkanku.
Mei, tiga tahun yang lalu di sebuah gedung salah satu
sekolah di kota Bulukumba, saat yang dinantikan akan sebuah masa depan. Tak ada
kata aku menyerah dalam sebuah pertempuran walaupun kadang kepasrahan datang
menawarkan diri. Kau tahu kenapa? Karena do’an akan dirinya yang terus
menghujan dalam hati. Saat lembaran kertas putih berisi soal 50 nomor, membuat
kepasrahan kembali menawarkan diri pada dada yang berguncang. “Oh ibu, aku
takut. Ini sungguh buatku lemah”. Bisikan dada kembali melawan kepasrahan
yang tak bosan-bosannya kembali.
Sepekan telah berlalu. Tetap tak ada kata menyerah
walaupun kata buntu selalu menyapa. Sebulan lebih menunggu hasil. Yah, sangat
membosankan bukan. Saat yang dinanti tiba dengan sepucut surat putih polos,
dengan dada yang berguncang sangat cepat. Sedikit kesombongan menyapa “aku
berhasil” tapi tak hentinya-hentinya bisikan aneh juga kembali menyapa “masih
ada yang belum kau lewati”. Penasaran? Sungguh aku pun penasaran.
Saat semuanya sedang sibuk mengurus masa depannya di
sebuah ruangan kecil berwarna putih polos, aku memberanikan diri membawa map
kecil juga untuk mengurus masa depanku, bersaing dengan mereka yang jauh lebih
bisa dengan diriku. Kau tahu apa yang ku bawa dalam map itu? Ia, itu dia sebuah
harapan akan kepastian jawaban masa depan. Hampir semua pilihanku sama dengan
mereka. Yah, membuatku semakin minder bukan. Belum lagi kata-kata dia yang
selalu menghujan dan melemahkan batinku.
Kau tahu seseorang yang ku maksud? Yah itu dia, orang
yang sangat dekat denganku. Yang merawatku di waktu kecil dulu. Dia seperti
ayahku bahkan pengganti ayahku di desa itu. Tiap kali bersama dengannya serasa
telah mengisi kekosongan hatiku tentang sosok ayah yang ku rindukan jauh di sana.
Tapi kata-katanya selalu membuat hatiku teriris. Sakit? Iya. Kau tahu aku dan
anaknya seperti anak kembar. Sangat mirip. Tapi entahlah, aku terheran saat
mendengarkannya berbicara padaku tentang masa depan.
Sedikit aku melirik tentang kisah dengannya. Aku dan
putrinya tinggal dalam satu gubuk milik saudara ibuku di desa Tamatto,
Bulukumba. Aku menganggapnya ibu keduaku yang telah merawatku dari kecil hingga
sekarang. Itu bukan istrinya. Tapi hanya iparnya. Aku rela berbagi kamar dengan
putrinya saat renovasi rumahnya, walaupun terkadang hatiku menolak. Kau tahu
kenapa? Itu karena kasih yang dia tanam dalam diriku. Setahun lebih kita
bersama. Sangat lama bukan. Sungguh, kadang rasa bosan menyapa namun karena
sifat humorisnya mengubah menjadi suasana yang penuh tawa.
Saat ibu bersama dengan ayahku kembali dari rantauan
yang sangat lama, suasananya mulai berubah. Ibuku sangat ingin mengembalikan
hak asuh akan diriku kepadanya, tapi karena mandat nenekku kepadanya, ibuku pun
merelakan hak asuhnya kepada kakaknya. Ibu keduaku. Sungguh, aku tersiksa.
Bukan karena aku tak ingin tinggal lagi bersamanya, tapi karena kerinduan
dengan sentuhan ibuku. Aku melihat sesuatu yang aneh. Kau tahu itu apa? Raut
muka yang ceria tiap kali melihatku berubah menjadi sangat suram. Sungguh.
Apalagi ketika aku membahas tentang masa depanku.
Dua bulan lebih aku membawa map itu ke berbagai
tempat, tetap tak ada jawaban. Bahkan dengan bantuan tangan orang terkenal pun
tetap tak ada jawaban. “Sungguh aku benar-benar lelah Tuhan”. Menyakitkan
bukan. Sesekali aku teringat dengan ucapannya yang maknanya tersirat “jangalah
terlalu jauh, toh kamu juga tidak akan mampu”. Entah aku yang sensitif atau
apa. Saat angin kembali menyadarkan, aku kembali optimis melirik kota yang
sangat jauh, Jakarta. Mengirim map itu dengan harapan penuh. Tak ada pikiran
jauh ataupun dekat. Kau tahu apa hasilnya? Aku berhasil mendapatkan beasiswa.
Kabar akan itu mulai terdengar di tengah keluargaku
bahkan telah sampai ditelinganya. Kau tau, responnya kini semakin berubah. Saat
ibuku mengetahuinya, rasa bangganya pada diriku sangat besar tapi tak menutupi
akan kekawatiran akan biaya yang diperlukan. Biaya keberangkatan dan kehidupan
sehari di kota yang sangat jauh dan asing itu. Aku harus mengerti dengan
kondisi yang menyulitkan ini. Kau tahu, saat itu aku benar-benar menerima
kepasrahan yang kembali menyapa. Aku lemah, sangat lemah.
Tiupan angin kembali mengingatkan akan kata-kata yang
dia keluarkan tentang diriku saat berada di sebuah kamar kosong tempat perenunganku.
Kau tahu, aku terkadang menyesal berada dalam kondisi yang seperti ini. Apalagi
membuatnya merasa menang. Sungguh, aku tak suka itu. Seandainya aku mampu
mendobrak tembok penghalangnya, akan aku lakukan. Tapi sungguh, kali ini aku
benar-benar lemah dan tak berdaya. Kekuatanku telah hilang dihisap oleh ketakberdayaan.
Aku tak tahu, jawaban apa yang Tuhan berikan padaku
setelah sekian kalinya aku berusaha hingga pada sebuah lembah yang tak
bernyawa. Putus asa. Saat itu aku hanya kenal satu hal, akan ada hikmahnya.
Entah apa itu hikmahnya, aku pun tak tahu. Kau tahu sakitnya membuatku takut
ingin kembali mencoba. Tapi benar, janji Tuhan kembali menyapa saat ingatan
tentang kejadian itu mulai terobati. Malaikat berwujud manusia membuka jalan
untuk diriku, menaruh keyakinan yang dalam pada hatiku. Walapun awalnya tak ada
lagi kepercayaan diri yang ku miliki. Yang ada hanya ketakutan yang menggunung.
Sungguh, sekalipun Tuhan menepati janjinya, tetap tak
ada jalan lurus yang ditunjukkan. Penuh lika liku. Saat map harapanku mulai ku
tenteng kembali dengan penuh keyakinan, lagi-lagi aku punya banyak rintangan.
Kau tahu apa? Tak ada kendaraan yang bisa ku pumpangi, hujan lebat. Di tambah
lagi saat aku menumpangi sebuah kendaraan beroda dua, kaki keserempet motor
yang berada di sampingku. Sangat sakit bukan. Darahnya menggumpal, membiru.
Kaki tak mampu ku gerakkan. Hampir saja aku menyerah. Sungguh aku tak tahu apa
maksud semuanya.
Tiga minggu, masa penantian setelah map ku kumpulkan.
Sungguh tak lama, tapi bagiku itu sangat mendebarkan. Kau tahu? Jantungku ingin
roboh menantinya. Melihat hasilnya pun rasanya tak mampu. Kau tahu apa
hasilnya? Aku Berhasil lanjut UIN Alauddin Makassar. Menyenangkan bukan. Tapi
sungguh aku masih belum paham tentang semuanya. Kau tahu kenapa? Itu karena aku
berhasil setelah jatuh. Sangat lucu bukan? Yah itulah permainan Tuhan,
jawabannya ada setelah penantian yang panjang.
Makassar, 31 mei
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar